Psikologi Abnormal ( Abnormal Psychology ) merupakan salah satu cabang psikologi
yang berupaya untuk memahami pola perilaku abnormal dan cara menolong orang –
orang yang mengalaminya. Dari waktu ke waktu sebagian dari kita merasa cemas
ketika menghadapi interview kerja yang penting atau ujian akhir .
Hal yang normal bila kita tertekan dalam tes tetapi menjadi
tidak normal ketika rasa cemas itu muncul ketika sedang memasuki department store atau menaiki lift.
Perilaku abnormal juga diindikasikan melalui besarnya / tingkat keseriusan
problem. Walaupun bentuk kecemasan sebelum interview kerja dianggap cukup
normal namun merasa seakan – akan jantung akan copot yang mengakibatkan
batalnya interview adalah tidak normal.
Ada beberapa kriteria yang digunakan untuk menentukan
suatu perilaku abnormal, antara lain:
1. Statistical
infrequency
- Perspektif ini menggunakan pengukuran statistik dimana semua variabel yang yang akan diukur didistribusikan ke dalam suatu kurva normal atau kurva dengan bentuk lonceng. Kebanyakan orang akan berada pada bagian tengah kurva, sebaliknya abnormalitas ditunjukkan pada distribusi di kedua ujung kurva.
- Digunakan dalam bidang medis atau psikologis. Misalnya mengukur tekanan darah, tinggi badan, intelegensi, ketrampilan membaca, dsb.
- Namun, kita jarang menggunakan istilah abnormal untuk salah satu kutub (sebelah kanan). Misalnya orang yang mempunyai IQ 150, tidak disebut sebagai abnormal tapi jenius.
- Tidak selamanya yang jarang terjadi adalah abnormal. Misalnya seorang atlet yang mempunyai kemampuan luar biasa tidak dikatakan abnormal. Untuk itu dibutuhkan informasi lain sehingga dapat ditentukan apakah perilaku itu normal atau abnormal.
2. Unexpectedness
- Biasanya perilaku abnormal merupakan suatu bentuk respon yang tidak diharapkan terjadi. Contohnya seseorang tiba-tiba menjadi cemas (misalnya ditunjukkan dengan berkeringat dan gemetar) ketika berada di tengah-tengah suasana keluarganya yang berbahagia. Atau seseorang mengkhawatirkan kondisi keuangan keluarganya, padahal ekonomi keluarganya saat itu sedang meningkat. Respon yang ditunjukkan adalah tidak diharapkan terjadi.
3. Violation of norms
- Perilaku abnormal ditentukan dengan mempertimbangkan konteks sosial dimana perilaku tersebut terjadi.
- Jika perilaku sesuai dengan norma masyarakat, berarti normal. Sebaliknya jika bertentangan dengan norma yang berlaku, berarti abnormal.
- Kriteria ini mengakibatkan definisi abnormal bersifat relatif tergantung pada norma masyarakat dan budaya pada saat itu. Misalnya di Amerika pada tahun 1970-an, homoseksual merupakan perilaku abnormal, tapi sekarang homoseksual tidak lagi dianggap abnormal.
- Walaupun kriteria ini dapat membantu untuk mengklarifikasi relativitas definisi abnormal sesuai sejarah dan budaya tapi kriteria ini tidak cukup untuk mendefinisikan abnormalitas. Misalnya pelacuran dan perampokan yang jelas melanggar norma masyarakat tidak dijadikan salah satu kajian dalam psikologi abnormal.
4. Personal distress
- Perilaku dianggap abnormal jika hal itu menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan bagi individu.
- Tidak semua gangguan (disorder) menyebabkan distress. Misalnya psikopat yang mengancam atau melukai orang lain tanpa menunjukkan suatu rasa bersalah atau kecemasan.
- Juga tidak semua penderitaan atau kesakitan merupakan abnormal. Misalnya seseorang yang sakit karena disuntik.
- Kriteria ini bersifat subjektif karena susah untuk menentukan setandar tingkat distress seseorang agar dapat diberlakukan secara umum.
5. Disability
- Individu mengalami ketidakmampuan (kesulitan) untuk mencapai tujuan karena abnormalitas yang dideritanya. Misalnya para pemakai narkoba dianggap abnormal karena pemakaian narkoba telah mengakibatkan mereka mengalami kesulitan untuk menjalankan fungsi akademik, sosial atau pekerjaan.
- Tidak begitu jelas juga apakah seseorang yang abnormal juga mengalami disability. Misalnya seseorang yang mempunyai gangguan seksual voyeurisme (mendapatkan kepuasan seksual dengan cara mengintip orang lain telanjang atau sedang melakukan hubungan seksual), tidak jelas juga apakah ia mengalami disability dalam masalah seksual.
Dari semua kriteria di atas menunjukkan bahwa perilaku
abnormal sulit untuk didefinisikan. Tidak ada satupun kriteria yang secara
sempurna dapat membedakan abnormal dari perilaku normal. Tapi
sekurang-kurangnya kriteria tersebut berusaha untuk dapat menentukan definisi
perilaku abnormal. Dan adanya kriteria pertimbangan sosial menjelaskan bahwa
abnormalitas adalah sesuatu yang bersifat relatif dan dipengaruhi oleh budaya
serta waktu.
1.
Abnormalitas kaitannya dengan Konsep Motivasi
Handoko (1992), menyatakan bahwa motivasi merupakan suatu tenaga yang terdapat dalam
diri manusia yang menimbulkan, mengarahkan, dan mengorganisasi tingkah laku.
Lewin (dalam Petri, 1981) mengungkapkan bahwa perilaku merupakan fungsi dari
faktor personal dan faktor lingkungan dalam pengertian bahwa perilaku itu
timbul karena adanya dorongan faktor internal dan kekuatan faktor eksternal.
Sementara itu Watson (dalam Asad, 1982) menegaskan bahwa perilaku pada dasarnya
bersifat mekanistis, yaitu timbulnya disebabkan karena adanya stimulus.
Perilaku dipandang sebagai reaksi atau respons terhadap suatu stimulus.
Woodhworth (dalam Petri, 1981) mengungkapkan bahwa perilaku terjadi karena adanya motivasi atau dorongan (drive) yang mengarahkan individu untuk bertindak sesuai dengan kepentingan atau tujuan yang ingin dicapai. Karena tanpa dorongan tadi tidak akan ada suatu kekuatan yang mengarahkan individu pada suatu mekanisme timbulnya perilaku. Dorongan diaktifkan oleh adanya kebutuhan (need), dalam arti kebutuhan membangkitkan dorongan, dan dorongan ini pada akhirnya mengaktifkan atau memunculkan mekanisme perilaku.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa motivasi sebagai penyebab dari timbulnya
Woodhworth (dalam Petri, 1981) mengungkapkan bahwa perilaku terjadi karena adanya motivasi atau dorongan (drive) yang mengarahkan individu untuk bertindak sesuai dengan kepentingan atau tujuan yang ingin dicapai. Karena tanpa dorongan tadi tidak akan ada suatu kekuatan yang mengarahkan individu pada suatu mekanisme timbulnya perilaku. Dorongan diaktifkan oleh adanya kebutuhan (need), dalam arti kebutuhan membangkitkan dorongan, dan dorongan ini pada akhirnya mengaktifkan atau memunculkan mekanisme perilaku.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa motivasi sebagai penyebab dari timbulnya
perilaku menurut
konsep Woodworth (dalam Asad, 1982) mempunyai 3 (tiga) karakteristik, yaitu :
(a) intensitas; menyangkut lemah dan
kuatnya dorongan sehingga menyebabkan individu berperilaku tertentu;
(b) pemberi arah;
mengarahkan individu dalam menghindari atau melakukan suatu perilaku tertentu;
dan
(c) persistensi atau kecenderungan untuk mengulang perilaku secara terus menerus.
Pandangan lain dikemukakan oleh Hull (dalam Asad, 1982) yang menegaskan bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh motivasi atau dorongan oleh kepentingan mengadakan pemenuhan atau pemuasan terhadap kebutuhan yang ada pada diri individu. Lebih lanjut dijelaskan bahwa perilaku muncul tidak semata-mata karena dorongan yang bermula dari kebutuhan individu saja, tetapi juga karena adanya faktor belajar. Faktor dorongan ini dikonsepsikan sebagai kumpulan energi yang dapat mengaktifkan tingkah laku atau sebagai motivasional factor, dimana timbulnya perilaku menurut Hull adalah fungsi dari tiga hal yaitu : kekuatan dari dorongan yang ada pada individu; kebiasaan yang didapat dari hasil belajar; serta interaksi antara keduanya.
Berdasarkan uraian di atas, konsep motivasi yang dikemukakan dalam kaitannya dengan perilaku dapat dikatakan bahwa motivasi merupakan suatu konstruk yang dimulai dari adanya need atau kebutuhan pada diri individu dalam bentuk energi aktif yang menyebabkan timbulnya dorongan dengan intensitas tertentu yang berfungsi mengaktifkan, memberi arah, dan membuat persisten (perilaku berulang-ulang) dari suatu perilaku untuk mengatasi atau memenuhi kebutuhan yang menjadi penyebab timbulnya dorongan itu sendiri.
Pandangan lain dikemukakan oleh Hull (dalam Asad, 1982) yang menegaskan bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh motivasi atau dorongan oleh kepentingan mengadakan pemenuhan atau pemuasan terhadap kebutuhan yang ada pada diri individu. Lebih lanjut dijelaskan bahwa perilaku muncul tidak semata-mata karena dorongan yang bermula dari kebutuhan individu saja, tetapi juga karena adanya faktor belajar. Faktor dorongan ini dikonsepsikan sebagai kumpulan energi yang dapat mengaktifkan tingkah laku atau sebagai motivasional factor, dimana timbulnya perilaku menurut Hull adalah fungsi dari tiga hal yaitu : kekuatan dari dorongan yang ada pada individu; kebiasaan yang didapat dari hasil belajar; serta interaksi antara keduanya.
Berdasarkan uraian di atas, konsep motivasi yang dikemukakan dalam kaitannya dengan perilaku dapat dikatakan bahwa motivasi merupakan suatu konstruk yang dimulai dari adanya need atau kebutuhan pada diri individu dalam bentuk energi aktif yang menyebabkan timbulnya dorongan dengan intensitas tertentu yang berfungsi mengaktifkan, memberi arah, dan membuat persisten (perilaku berulang-ulang) dari suatu perilaku untuk mengatasi atau memenuhi kebutuhan yang menjadi penyebab timbulnya dorongan itu sendiri.
2.
Abnormalitas kaitannya dengan Stres
Stress
adalah bentuk ketegangan dari fisik, psikis, emosi maupun mental. Bentuk
ketegangan ini mempengaruhi kinerja keseharian seseorang. Bahkan stress dapat
membuat produktivitas menurun, rasa sakit dan gangguan-gangguan mental. Pada
dasarnya, stress adalah sebuah bentuk ketegangan, baik fisik maupun mental.
Sumber stress disebut dengan stressor dan ketegangan yang di akibatkan karena
stress, disebut strain.
Seseorang yang mengalami abnormalitas dapat disebabkan oleh
stress, dan sebaliknya stress dapat disebabkan oleh
abnormalitas. Hal ini berkaitan dengan penyebab sosiokultural. Seseorang bisa
saja mengalami abnormalitas, seperti trauma atau depresi karena sebelumnya
mengalami stress yang berkepanjangan.
Saat dia mengalami tekanan dalam dirinya atau dihadapkan pada suatu tekanan
dari lingkungan sosialnya dan tidak bisa menghadapi atau mengontrol dirinya,
maka hal tersebut dapat mengakibatkan terjadinya abnormalitas seperti depresi
atau skizofrenia. Sebaliknya, seseorang yang memang abnormal yang membuatnya
tidak diterima di lingkungannya atau disisihkan menyebabkan ia mengalami stress dan pada akhirnya mungkin saja
menambah dan memperparah abnormalitas orang tersebut.
Sumber – sumber yang dapat menyebabkan stres yaitu:
a.
life events atau
peristiwa – peristiwa dalam kehidupan , baik yang bersifat negative maupun positif , seperti kriminalitas ,
pemerkosaan , kekerasan , kehilangan anggota keluarga, bencana alam dan
pertengkaran
b. frustrassion terjadi
ketika suatu tujuan atau motif seseorang tidak terpenuhi atau terpuaskan.
c.
Conflict merupakan
keadaan dimana seseorang individu tidak dapat memenuhi tujuan atau motifnya karena adanya gangguan dari
orang lain.
Reaksi
Psikologis terhadap Stres
Ø Anxiety ( kecemasan )
Merupakan emosi yang tidak
menyenangkan yang ditandai dengan munculnya khawatir, ketegangan / tertekan ,
ketakutan pada sesuatu yang akan terjadi dan ketakutan yang mana tanda – tanda
ini dialami dalam derajat yang berbeda –beda pada masing – masing individu.
Ø Anger
and Aggression ( kemarahan dan agresi)
Merupakan reaksi psikologis
berupa kemarahan yang mengarah pada perilaku agresi ( baik berupa tindakan
fisik atau verbal ) ketika individu mengalami frustasi. Perilaku agresi
ditunjukan langsung pada sumber stress ( direct aggression ) atau dengan
menyerang orang yang tidak bersalah dan objek – objek yang ada disekitarnya
menjadi tempat pelampiasan kemarahan.
Ø Apathy
and Depression ( ketidakberdayaan dan depresi )
Merupakan reaksi psikologis
berupa menarik diri dan merasa tidak berdaya menghadapi peristiwa – peristiwa
yang tidak terkontrol.
Ø Cognitive
Impairment ( penurunan fungsi kognitif)
Merupakan reaksi psikologis
akibat stress yang ditandai dengan sulit berkonsentrasi, sulit untuk berpikir
secara logis dan pemikiran yang mudah teralihkan dalam melakukan tugas – tugas
atau masalah yang kompleks.
3.
Abnormalitas kaitannya dengan Gender
Banyak sekali
kasus-kasus abnormalitas yang kita temui atau kita ketahui. Faktanya, kasus
abnormalitas tersebut banyak terjadi pada kaum pria. Misalnya saja ADHD (Attention Deficit Hyperactive Disorder),
menurut penelitian Breton yang dilakukan pada 1999, ADHD lebih banyak dialami
oleh anak laki-laki dari pada perempuan, dengan estimasi 2-4% untuk anak
perempuan dan 6-9% untuk anak laki-laki usia 6-12 tahun. Selanjutnya Asperger
Syndrome yang merupakan gejala autisme, Berdasarkan perkiraan yang dikutip
situs webmd.com, sindrom ini dialami
oleh 0,024 hingga 0,36 persen dari anak-anak. Gangguan ini lebih umum dialami
laki-laki dibandingkan perempuan dan biasanya terdiagnosis saat anak berusia
antara dua dan enam tahun.
Berdasarkan
fakta-fakta tersebut umumnya laki-laki lebih banyak mengalami abnormalitas
dibanding wanita. Hal ini dapat dijelaskan secara biologis, dimana terdapat
perbedaan kromosom dan susunan genetik antara laki-laki dan perempuan yang
memungkinkan laki-laki lebih banyak mewarisi abnormalitas secara genetik
dibandingkan dengan perempuan. Selain itu kasus lain adalah mengenai bunuh diri
yang banyak terjadi, tidak hanya di negara berkembang namun juga di
negara-negara maju seperti Amerika. Faktanya lebih banyak pria mengakhiri
hidupnya dengan bunuh diri dibandingkan dengan wanita. Jika dijelaskan dengan
pendekatan sosiokultural, tuntutan lingkungan/masyarakat terhadap seorang pria
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan wanita. Hal ini mengakibatkan banyak pria
merasa gagal untuk memenuhi tuntutan tersebut dan mengalami depresi yang
berujung pada bunuh diri.
Sumber :
0 komentar:
Posting Komentar